ACEH - Pasar Tradisional Lambaro, di
Aceh Besar, dipadati para pembeli daging sapi, salah satunya Malahayati yang
membeli beberapa kilogram daging untuk diolah menjadi enam jenis masakan khas
Aceh.
“Saya memasak kari putih, sop, rendang,
daging goreng, juga daging rebus. Nanti akan dimakan bersama keluarga, bukan
keluarga saya saja tetapi saya rasa seluruh warga Aceh makan daging hari ini,”
jelas ibu dua anak perempuan ini.
Memasak dan menikmati daging bersama keluarga
seperti saat datangnya bulan Ramadan ini dikenal dengan Meugang.
Tak hanya di pasar-pasar tradisional yang
dipadati oleh pembeli daging, tapi di sejumlah tempat juga muncul pasar
musiman, salah satunya di Berauwe.
Muhamad Saleh, salah satu penjual daging di
Berauwe, mengaku telah puluhan tahun berjualan daging sapi ketika Meugang.
“Ya lumayan juga dapatnya, meski tak banyak,
saya menjual tiga ekor sapi sejak kemarin (Selasa), tahun ini per kilonya cukup
mahal,” tutur Saleh.
Harga daging yang melonjak sampai Rp140.000
per kilogram, tidak menghalangi warga Aceh untuk membeli daging untuk Meugang menyambut datangnya Ramadan yang jatuh
pada hari ini, Kamis (18/6/2015).
Tradisi Meugang atau disebut juga Mameugang
diyakini telah dijalankan sejak masa Kesultanan Aceh yang dipimpin oleh Sultan
Iskandar Muda.
Ketika itu, Sultan Iskandar Muda
memerintahkan kepada anak buahnya memotong sapi dan membagikan dagingnya kepada
kaum fakir miskin, seperti dijelaskan oleh Ketua Majelis Adat Aceh (MAA),
Badruzzaman.
“Sapi disembelih kemudian dibagi dagingnya
menjadi tumpukan kecil yang isinya memuat semua bagian tubuh hewan, jadi
intinya bukan di beratnya tapi di komponen dagingnya yang mencerminkan
keadilan,” kata Badruzzaman.
Kesultanan Aceh Darussalam pada abad ke-16
sampai 17 merupakan kerajaan Islam terbesar di Asia Tenggara, sehingga tradisi
Meugang tak lepas juga dari ajaran Islam, kata Misri A Muchsin, dekan Fakultas
Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry.
“Meugang itu sebenarnya adalah dalam rangka
untuk menyambut Ramadan. Memang diprogramkan dari kerajaan agak besar-besaran,
bagaimana memakmurkan masyarakat dan sesuai dengan hadis tentang menyambut
Ramadan dengan suka cita,” jelas Misri.
Dalam perjalanannya tradisi Meugang tak lagi
menjadi "program pemerintah" tetapi masyarakat dan juga menggerakkan
ekonomi dengan munculnya pasar daging musiman.
Selain makan daging, berkumpul dengan
keluarga satu hari jelang Ramadan merupakan tradisi di Aceh, tetapi tradisi itu
telah berubah.
"Kalau dulu harus pulang ke rumah, jika
tidak akan menjadi bahan pembicaraan namun saat ini tidak lagi. Silaturahmi
bisa dilakukan melalui telepon atau internet,” kata Badruzzaman.
Tradisi Meugang yang berlangsung sejak dua
hari sebelum Ramadan tampaknya masih melekat pada masyarakat Aceh. “Rasanya tak
lengkap jika jelang Ramadan kita tak makan daging,” jelas Malahayati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar